IPTEK : Lebih Dari Pawang Hujan, Penjinak Banjir Berteknologi
Perhatikan
logo di atas ! Anda pasti akan merasa familiar dengan logo tersebut. Coba tebak
logo apa itu ? Kalau masih agak lupa, saya mencoba memberi clue-nya. Logo ini
sering ditemukan jika Anda melewati proyek perbaikan jalan, gorong-gorong, dan
proyek pembangungan infrastruktur publik lainnya. Yaps, Kementerian PekerjaanUmum Republik Indonesia. Benar-benar cocok jika disebut kementerian pekerjaan
umum karena umumnya pekerjaannya sangat dekat dan sudah umum di telinga
masyarakat.
Secara
umum, karya dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terdiri dari sektor sumber
daya air, sektor jalan dan jembatan,
serta sektor perumahan dan permukiman. Mari kita cermati hasil karya dari
Kementerian Pekerjaan Umum berikut :
Banjir Kanal Timur merupakan proyek populer dari PU untuk melindungi wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara seluas 270 km dari luapan banjir sungai Cipinang, Sunter Buaran Jatikramat dan Cakung |
Jembatan Suramadu, masteripiece pekerjaan umum yang sangat populer sebagai pendongkrak ekonomi Indonesia. Jembaan sepanjang 5438 meter ini menghubungkan antara Madura dan Jawa Timur |
Rusunawa Gresik yaitu rumah susun 4 lantai yang memberikan fasilitas akomodasi kepada masyarakat dengan biaya murah dan kualitas layak. Sehingga, kebutuhan pokok berupa papan dapat terpenuhi. |
Eits baik buruknya kualitas pembangunan itu
juga dipengaruhi oleh kita lho. Sebagian besar biaya pembangunan yang dilakukan
oleh PU berasal dari pajak. Padahal bila kita cermati, pembayar tingkat
kepatuhan pajak kita masih rendah. Dari sumber di Ditjen Pajak, pada tahun 2012
jumlah pajak yang terkumpul mencapai Rp
976 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 19 persen dari tahun sebelumnya.
Rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak dari tahun 2009–2012 mencapai 17 persen.
Dari 60 juta penduduk Indonesia yang mampu membayar pajak, hanya 30 persen yang
telah memenuhi kewajibannya Jika dihitung dari 60 juta, yang baru bayar pajak
saat ini 25 juta, yang belum itu 35 juta. Penerimaan negara pun menjadi minim
apalagi dari pajak tersebut langsung tersedot oleh subsidi BBM yang hampir
mencapai 30 persen.
Janganlah mencoba membandingkan dengan negara
lain. Misalnya saja, di Malaysia telah mencapai 80 persen tingkat kepatuhan
pajaknya. Sementara Indonesia hanya 30 persen. Sungguh hal yang sangat ironis
mengingat luasnya wilayah Indonesia dengan ribuan perusahaan berdiri mewarnai
perekonomian. Namun, kesadaran membayar pajaknya sangatlah rendah. Sehingga,
wajar jika jalan yang berlobang, penanganan banjir yang masih belum maksimal,
dan berbagai masalah pelik lainnya bisa jadi bersumber dari diri kita sendiri.
Sinergi masyarakat dan pihak pemerintah menjadi hal mutlak untuk membangun
Indonesia dengan baik.
Bagaimana dengan Banjir yang tak berujung ?
Musibah
selalu menyisakan tragedi mendalam sekaligus turning point. Enam tahun silam,
saya mengalami kejadian yang sangat luar biasa dalam sepanjang hidup saya.
Medio akhir Mei 2006, tepatnya 27 Mei 2006,Yogyakarta diguncang gempa tektonik
berkekuatan 5,9 SR. Cerminan takdir itu sangat nyata saya hadapi.
Hari
masih sangat pagi kala itu. Empat orang penghuni rumah, yaitu kakak dan bapak
saya masih terlelap. Sementara itu, saya dan ibu sudah beraktivitas. Karena
beberapa hari lagi saya akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah SD, sedari bangung
langsung duduk tekun menjelajahi materi. Sedangkan, ibu sedang di toilet. Tak
diduga-duga, gempa pun menggoyang rumah tua kami. Seketika itu, saya teriak
keras sambil lari keluar. Tanpa rencana, saya bisa selamat dan berdiri dengan
sekitaran material bangunan yang sudah rata tanah. Naas, kakak saya tidak bisa
sampai keluar cepat dan mencari tempat yang bebas reruntuhan. Ia tertimpa
jendela. Meski demikian, alhamdulillah masih selamat, sementara
tetangga-tetangga kami sudah teriak dan menangis untuk menolong kerabatnya yang
hendak menyelamatkan diri atau mengevakuasi karena meninggal. Selanjutnya kakak
saya harus dirawat intensif selama beberapa bulan dan kami menjalani kehidupan
baru di rumah yang baru. Karena rumah yang terkena gempa benar-benar rata
tanah.
Penampakan Rumah Ane yang rata tanah |
Begitulah
sekelumit kisah saya yang menjadi mukaddimah dalam menjawab pertanyaan
tersebut. Sepintas jika dicermati agak melenceng dari headline. Dari kisah
tersebut saya hanya ingin menaruh empati mendalam akan orang lain yang tertimpa
musibah bencana alam. Betapa pilunya tertimpa musibah. Jelas jumlah yang sangat
banyak jika hitung-hitungan secara rugi material. Namun, akan lebih rugi lagi
apabila tidak terus berubah dan menyiapkan kuda-kuda agar pilu yang mendalam
tidak terulang lagi jika bencana tersebut datang.
Sama
dengan musibah banjir yang sudah menjadi bencana langganan yang menimpa
beberapa wilayah di Indonesia, khususnya yang paling terkenal adalah Jakarta.
Banjir Jakarta menjadi masalah yang tak berujung pada penyelesaian. Berbagai
upaya dikerahkan, namun hasil signifikan tidak kunjung didapatkan. Pemerintah
pun seringkali menjadi kambing hitam atas kejadian ini. Seolah-olah menangani
banjir akan meraih hati orang banyak yang telah terlanjur mengambing-hitamkan
pemerintah, penanganan banjir telah
menjadi komoditas politik. Seperti penampakan berikut ini.
Iklan Nyeleneh pilgub DKI tahun lalu |
Sebenarnya gimana sih banjir Jakarta itu ?
Sebuah
studi yang berfokus pada dampak perubahan iklim di Asia Tenggara dan memberi
peringkat pada kerentanan negara-negara di Asia Tenggara terhadap perubahan
iklim menemukan beberapa hal menarik tentang DKI Jakarta. Sembilan Dari 530
wilayah kota di tujuh negara yang dikaji, yakni Indonesia, Thailand, Kamboja,
Laos, Vietnam, Malaysia dan Philipina, lima wilayah kota administrasi di DKI
Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim. Tak
tanggung-tanggung, dari 10 besar tersebut tiga wilayah kota administrasi di DKI
Jakarta menempati tiga urutan tertinggi, yaitu Jakarta Pusat di urutan pertama,
kemudian Jakarta Utara di posisi kedua dan Jakarta Barat di posisi ketiga.
Sedangkan Jakarta Timur masuk dalam urutan ke lima dan Jakarta Selatan urutan
ke delapan. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak masuk dalam wilayah
yang rentan terhadap perubahan iklim.
Ya,
banjir di Kota Jakarta berkaitan erat dengan banyak faktor seperti, antara
lain, pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang tertata
baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi dan perubahan iklim
global. Bisa dilihat beberapa penampakan-penampakan pilu penyebab banjir yang
terjadi di Jakarta.
Penyempitan Sungai terjadi seiring Raksasa Gedung Berdiri |
Sesungguhnya
banjir di kota ini bukanlah masalah baru. Pemerintah kolonial Belanda pun sudah
sedari awal dipusingkan dengan banjir dan tata kelola air Jakarta. Hanya
berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya,
tahun 1621 kota ini mengalami banjir. Ini adalah catatan pertama dalam sejarah
Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda
banjir besar.1 Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di
daerah pinggiran kota, ketika wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok,
Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Tercatat banjir besar
terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918.
Banjir
besar yang terjadi pada tahun 1918 membuat hampir seluruh kota tergenang.
Dilaporkan pada saat itu ketinggian air sempat mencapai setinggi dada manusia.
Salah satu upaya penanggulangan banjir yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial
setelah banjir besar 1918 adalah membangun saluran air yang disebut sebagai
Banjir Kanal Barat pada tahun 1922. Pembangunan Banjir Kanal Barat merupakan
ide ahli tata kelola air, Herman van Breen. Kanal ini terutama dibangun untuk
melindungi kawasan Kota dari banjir tetapi tidak melindungi daerah-daerah
lainnya. Panjang Banjir Kanal Barat adalah 17,5 km dan pada waktu itu kanal ini
terhitung hebat karena mampu mengatur air yang masuk ke kota Batavia, dan
menampung air Sungai Ciliwung, Sungai Cideng, Sungai Krukut dan Sungai Grogol.
Saat itu jumlah penduduk masih relatif sedikit; tahun 1930 tercatat penduduk
Batavia hanya berjumlah 811.000 orang. Tekanan penduduk pada lingkungan alam
Jakarta ketika itu belumlah sebesar sekarang sehingga Herman van Breen berhasil
dengan mudah melindungi kawasan Kota dari banjir.
Banyak
perubahan telah terjadi sejak tahun 1920-an. Kondisi alam Jakarta telah berubah
drastis akibat pertumbuhan penduduk dan perluasan kawasan permukiman serta
industri. Jika sebelumnya curah hujan dapat meresap ke dalam tanah dan sisanya
tersalurkan ke sungai, pembangunan fisik yang terjadi telah menutupi
daerah-daerah resapan air. Karena luas daerah yang tidak terbangun semakin lama
semakin menyempit, curah hujan yang terjadi di Jakarta sekarang langsung
tersalurkan ke sungai dan saluran-saluran air lainnya untuk kemudian dialirkan
ke laut.
Trus aku harus gimana tweepers jangan mencuri ?
Hujan
turun tidak dapat terkira. Mengandalkan pawang hujan untuk menghentikan banjir
jelas mustahil. Menyalahkan pemerintah sudah menjadi isu lama. Apalagi percaya
Calon Gubernur dengan janji-janji utopis yang disindir dalam kampanye nyeleneh
tadi. Kita harus memahami Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) agar memiliki
kesadaran untuk mencegah banjir. Syukur-syukur bisa berkontribusi memberikan
ide kepada Balitbang Pekerjaan Umum untuk melakukan sebuah inovasi dalam
mengatasi banjir.
Jika
IPTEK yang sudah menjadi jangkar penanganan banjir, maka cahaya terang itu akan datang
he-he. Misalnya saja, inovasi prospektif sebagai salah satu solusi mengatasi
banjir, Gorong-gorong Multiguna yang beberapa waktu lalu menyeruak digagas oleh
Gubernur Jakarta Pak Joko Widodo. Saya akan menjelaskan tentang solusi berbasis
IPTEK tersebut sebagai pemantik ide di kepala kita. Penjelasan ini saya peroleh dari http://litbang.pu.go.id/category/produk pada bagian Majalah RISET Edisi 1 Januari - Maret 2013 dalam artikel berjudul Gorong-gorong Multiguna : Solusi Ambisius Atasi Banjir Ibukota.
Gorong-gorong
dikenal sebagai lalu lintas air yang secara umum telah digunakan saat ini.
Tetapi, kalau multiguna itu yang seperti apa ? Ya, seperti ini …
Dengan
melihat kompleksitas permasalahan yang dihadapi, khususnya dalam upaya
pengelolaan SDA, bersamaan dengan keterbatasan dana dan ketersediaan lahan,
demi efektifitas dan efisiensi pemecahan masalah, diperlukan upaya penanganan
secara menyeluruh dan terintegrasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Salah satu solusi menyeleruh dan terintegrasi yang pada dasarnya tidak
terkendala pada upaya penyediaan dan pembebasan lahan adalah dengan membangun
suatu sistem terowongan bawah tanah multiguna yang dikenal sebagai MPDT atau
Multi Purpose Deep Tunnel.
MPDT
atau disebut juga gorong-gorong multiguna adalah terowongan bawah tanah yang
multifungsi. Gorong-gorong raksasa ini akan bermanfaat untuk mengatasi
kemacetan, pengendali banjir, saluran limbah, penyuplai air baku, dan juga
sebagai saluran pipa utilitas. Seperti halnya yang terlihat pada gambar di
atas. Tampak bahwa terowongan bisa dilewati kendaraan ketika tidak sedang
banjir. Namun, air dalam volume besar dapat lancar dialirkan ke laut melalui
terowongan ini seperti ilustrasi berikut ini.
Siklus Kerja MPDT |
Pengembangan
konsep dan implementasi MPDT di DKI Jakarta diharapkan untuk mampu mengatasi:
1.
Masalah
atau ancaman banjir di wilayah Metropolitan DKI Jakarta secara terintegrasi
dengan tidak terkendala dengan masalah pembebasan lahan.
2.
Secara
simultan dan cost effective dalam pengelolaan limbah cair perkotaan dari
berbagai aktifitas domestik/rumah tangga yang belum ditangani oleh Pemda DKI
hingga saat ini.
3.
Secara
simultan mengatasi masalah kelangkaan air baku yang tengah dihadapi oleh PAM
Jaya terutama menghadapi tantangan jangka menengah dan jangka panjang untuk
pemenuhan kebutuhan air bersih di Jakarta melalui proses daur ulang limbah cair
yang diolah bersamaan dengan cadangan air hujan yang ditampung pada MPDT.
4.
Secara
simultan dan bertahap memperbaiki (restorasi) kualitas air
permukaan/sungai-sungai utama yang ada di DKI Jakarta yang tercemar oleh limbah
cair dan padat.
5.
Secara
terintegrasi pada keadaan tidak banjir, dapat difungsikan sebagai jalan tol
bawah tanah untuk dapat membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dalam wilayah
kota dan sekaligus dalam rangka mengoptimalkan investasi dan pemulihan biaya.
6. Sicara
simultan dan bertahap memperbaiki dan meningkat kualitas air tanah dalam rangka
konservasi air tanah dan pencegahan penurunan permukaan (land subsidence) dan
sekaligus untuk pengendalian ancaman intrusi air laut.
Secara
terperinci, cara kerja inovasi ini adalah sebagai berikut :
Detail Cara Kerja MPDT |
Seperti
terlihat pada gambar di atas, dalam keadaan normal dimana tidak ada banjir,
terowongan yang terdiri atas 3 (tiga) lapisan (layer) tersebut akan difungsikan
sebagai sarana jalan tol bawah tanah untuk bagian atas dan tengah dengan
pembagian arah yang berbeda untuk setiap lapisnya. Sementara lapisan bagian
bawah (dasar terowongan) akan sepenuhnya berfungsi sebagai saluran air dan
tempat saluran limbah cair (sewerage pipes) yang terpisah untuk menjaga
kontaminasi dari limbah cair.
Komponen
kedua adalah reservoir di bawah tanah itu sendiri. Reservoir ini didisain
dengan kapasitas relatif besar untuk mampu menampung limpasan air atau genangan
yang terjadi akibat hujan atau curah hujan tinggi bersamaan dengan akumulasi
limbah cair perkotaan dalam hitungan debit harian. Reservoir bawah tanah kedap
air ini juga didisain dengan mempertimbangkan faktor keamanan yang tinggi
terhadap resiko runtuh (colaps) akibat beban dan getaran atau pergerak tanah
(earthquake). Sistem saluran ini pada beberapa titik akan bertemu dengan
saluran air limbah (sewerage network) yang biasanya dalam bentuk combine sewer
overflow (CSO) untuk kemudian menuju ke reservoir utama di bawah tanah.
Lumpur
endapan pada reservoir bawah tanah dan lumpur dari hasil reklamasi dan
pengolahan air baku selanjutnya diolah secara proses biologis untuk stabilisasi
sifat fisik dan kimiawinya untuk kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi
pupuk organik (biosolid) untuk keperluan pertanian. Dari hasil pengolahan
lumpur secara anaerobic juga akan dapat dihasilkan gas methan (CH4) sebagai
sumber bioenergi yang dapat digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik
untuk keperluan operasional MPDT.
Dinilai
dari segi efektif dan tidaknya tentu masih menjadi perdebatan. Mengingat biaya
yang dikeluarkan untuk proyek ini tidaklah sedikit. Perkiraan sementara
berhasil menyimpulkan bahwa biaya yang dibutuhkan sekira Rp 1 triliun per
kilometernya. Rencananya MPDT akan dibangun sepanjang 22 km, dari jalan
MT.Haryono menuju Manggarai, Karet, dan berakhir di Pluit.
Kendatipun
MPDT membutuhkan biaya investasi yang relatif tinggi tetapi akan sangat
bermanfaat dan berguna untuk jangka panjang terutama bila dikaitkan pada upaya penanganan
masalah secara terpadu dalam upaya pengelolaan SDA dan untuk pananganan
kemacetan lalu lintas di masa depan. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa kerugian
material yang terjadi setiap tahunnya akibat kemacetan lalu lintas, akibat
banjir maupun masalah yang timbul karena semakin terbatasnya ketersediaan air
baku dan konflik yang timbul dalam pemanfaatan sumber-sumber air dapat
dialihkan atau dikompensasikan untuk pembangunan MPDT ini bersamaan dengan
upaya memperbaiki sistem sanitasi lingkungan melalui penanganan limbah cair
perkotaan yang selama ini hanya dilakukan secara parsial.
Lebih
jauh lagi, keterlibatan sektor swasta melalui kerangka kerjasama investasi dan
pengelolaan MPDT untuk sarana jalan tol bawah tanah, pemanfaatan air baku,
pengelolaan limbah cair dengan berbagai produk akhir yang mempunyai nilai
ekonomi merupakan keunikan dari sistem ini dibandingkan dengan sistem
infrastruktur perkotaan lainnya.
Proyek
ini masih dikaji secara mendalam dari berbagai pihak. Tim yang berisi pakar
dari Direktorat Jenderal SDA, Kementerian PU dengan Dinas PU Provinsi DKI
Jakarta disiapkan. Tim gabungan ini bertugas untuk menguji kelaikan
gorong-gorong multiguna tersebut, baik dari sisi finansial, maupun kegunaan.
Pada dasarnya sistem ini sudah dibangun di Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong,
dan Chicago. Sementara Jakarta akan mengembangkan sistem yang cocok dengan
sistem di Ibukota.
Udahan Ya !
Sudah
saatnya menjadikan pondasi IPTEK dalam menyelesaikan permasalahan
Banjir di Indonesia. IPTEK adalah penjinak banjir yang berteknologi dan ampuh. Sudah tidak dipertanyakan lagi, berbagai negara telah membuktikan terlebih dulu. Sudah saatnya juga kita melakukan turning
point jika tidak ingin terus merugi karena banjir. Dan masih banyak masalah lain yang bisa diselesaikan dengan berpegang teguh pada IPTEK. Sehingga, marilah kita menguasai IPTEK dan berkotribusi kepada
negeri. Kalo tidak kita siapa lagi ?
Referensi :
www.litbang.pu.go.id
www.kemenkeu.go.id
Jurnal Bebas Banjir 2015
Comments
Post a Comment