Mengatur Waktu, Membangun Waktu

"Suatu hari saya merasakan betapa lelahnya menjadi mahasiswa. Melihat handphone isinya cuman sms deadline kerjaan. Bikin inilah, itulah, ya rapat ya kumpul ini dan sejuta scrutiny acitivities lainnya. Bosen ? Iya. Sampai kadang berpikir apa agenda move-on dari doi harus segara dilancarkan apa ya he-he-he biar bisa memberi suntikan semangat :3"

Saya akui, dunia kuliah ini belum memanusiakan ku. Kata temen seperjuangan saya yang dulu pas SMA gemar kulak juara, "Hei ! Kita bukan siapa-siapa di sini, masa SMA mu itu gak akan ada yang mention kalo kamu di kuliah belum berbicara apa-apa". Banyak rencana buat mendulang prestasi ini itu. Tapi kembali lagi kambing hitamnya adalah waktu. Bener deh kalo kuliah itu susah banget ngatur waktu yang bener-bener bisa produktif. 

Contoh saja, rencana pingin nulis esai memanfaatkan sela waktu antara kuliah sesi I dan III. Gaya malas pun bekerja di sini. Baru juga sebentar termenung di depan layar laptop, serang kantuk langsung menyergap. Kemudian, dapat mood sedikit eh, ternyata waktunya udah masuk waktu kuliah. Atau mungkin kalo kita bekerja tim dengan teman kita sering tunggu-tungguan gara-gara beda jadwal kuliah.  Kompleks deh pokoknya kalo ngomongin ngatur waktu di kuliah. 

Tidak seperti waktu SMA, boleh ya kita sekolah sampai jam 2. Tapi habis itu bisa langsung melahap agenda dengan penuh semangat.

Baiklah, itu semua hal yang naif dan hal yang bodoh sebenarnya. Soalnya sebetulnya kembali lagi ke diri kita. Tidak ada kata "malas" untuk mengeksekusi rencana. Bukannya amnesia terhadap cara dulu waktu SMA membagi waktu, tapi saya mungkin membutuhkan waktu adaptasi. Yakin, someday "i'll take all challenges and beat up confidently"

Namun, sedikit benang merah itu mengantarkan ke permulaan muhasabah untuk peristiwaku di 2013. Ini tentang mengatur waktu dan menjadi seorang pemimpin. Jalan ceritanya seperti ini.

Sore itu, saya dan Irfan (tetangga rumah) sebagai remaja masjid sedang sibuk membuat lampion takbir. Benar, ini bulan Agustus dan sebentar lagi kita menyambut kemenangan Idul Fitri. Hp yang tergeletak di lantai dari kejauhan terlihat menyala, tanda ada sms masuk. Itu adalah sms Adam, panitia lokal dari lomba yang saya ikuti bersama teman-teman yang memberi tahu bahwa karya kami masuk ke 10 besar dan berhak menghadiri pameran di London besok Oktober. Alhamdulillah pasti tapi terus dibuntuti rasa pesimisme. "Hah ? London ? Kali aja dah kalo bayar sendiri". Kemudian sempat dilupakan info ini, kembali fokus ke lampion. 

Selang beberapa hari, teman-teman ngajak meet up buat ngrembug masa depan kita. Baiklah, kita ketemuan. Kami pun mulai memantapkan niat, tapi tetep aja galau karena support dana belum kami kantongi. 

Sampai akhirnya, di medio akhir September kami harus memutuskan. Kami belum mengurus visa ke UK dengan pedoman di internet 5 hari bisa jadi. Saya pun manut dengan teman-teman, yang penting dapet uang lah nanti kan pas 5 hari bisa jadi. Well, saya pun juga merasa bodoh karena lupa kalo ngurus visa itu emang lama dari pengalaman saya. Ibu saya pun telah mengingatkan, "Le, nothing to loose buat bikin visa, ayo bikin visa dulu". 

Kami pun bergerak kemana-mana dan cahaya dana itu mulai tampak, kami yang berlima itu hampir dipastikan dapat di-cover seluruh biayanya. Karena ternyata event yang kami ikuti ternyata dikenal oleh kalangan atas rektorat maupun dekanat. Padahal sebelumnya yang yakin di-cover hanya dari FEB (Fakultas saya). 

Tanpa pikir panjang, kami pun langsung apply visa online dan datang ke Jakarta tanpa harapan. Karena yang benar ternyata membutuhkan waktu 3 Minggu untuk membuat visa. Padahal waktu ke hari-H tinggal 1 Minggu. Probabilitas berhasil pun tinggal sedikit, sangat sedikit bahkan. Ibaratnya kita sebenarnya sudah tanpa harapan untuk tetap mengurus visa UK itu. 

Benar. Semua dokumen kami diterima, tapi ditanya oleh CS-nya. Tetap di-apply gak ini ? Jadinya 3 Minggu lho, soalnya bukan priority visa. Dan di saat genting itu, hape rekan satu kelompok saya berbunyi, "Mbak ini kami dari FISIPOL dan KAGAMA akan menanggung seluruh biaya pesiar Anda". Rasanya pingin nangis, senangis-nangisnya. Well, saya bukan tipe yang gampang nangis, susah banget nangis. Tapi patah hatinya itu kerasa banget lukanya. So far, dari lahir hingga sekarang inilah kejadian paling epic, paling menuntut pengorbanan ikhlas, dan hal epic lainnya. 

Eits, sebentar ke-epic an belum diakhiri. "Lhoh, itu priority visa apaan mbak ?" Ya, ini bisa jadi 3 hari tapi ya kamu harus bisa buktiin kalo pernah ke US, UK, atau Schangen Country. Sik...sik pernah gak ya. Dalam batin "Oiya, dulu pas sama Greha pernah ke Eropa deh kayaknya. Terus pas sama Rei kayaknya ke US". O gitu mbak ? Wajah sumringahku tersemai merasa satu langkah lagi kaki ku akan menginjak Melwood, London tempat yang paling ingin kukunjungi di Inggris. Oke saya hanya akan mengupayakan yang bukti visa US karena itu kayaknya masih disimpan oleh Kemenlu selaku yang mbayarin kita waktu ke US. Besok pun ku impikan menjadi hari terindah jika bisa ketemu visa US-nya dan keterima di Priority Visa. Sore pulang, terus makan di Burger King (Hampir tiap ke Jakarta, aku menyempatkan ke sini, soalnya Es Creamnya enak, ya cuman es cream belinya, yang murah tapi enak bett sama upaya penghematan setelah meremunerasi sopir taksi Jakarta karena bolak-balik ngerjar waktu pake taksi). 


Tibalah saatnya, masih ingat itu adalah hari Jumat. Saya membaca kahfi dan waqi'ah untuk mengawalinya. Saya yakin Allah SWT. pasti punya jalan untuk saya. Dari pagi-pagi saya tidak tidur lagi. Teman-teman saya sudah bergegas mau ke Bandung jalan-jalan. Sehingga, tinggal saya yang akan mengurus ini semua. Saya pun datang ke Kemenlu. Ya, masih berharap kemungkinan terbaik, meski dikatakan paspor dinas saya sudah lenyap dan mereka tidak ada fotocopy-nya sama sekali. Jangan salah saya hampir bolak balik Senayan-Senen untuk memastikan ini semua. Dan sampailah ke kulminasi bahwa bukti visa US saya tidak ketemu. Dalam sholat Jumat saya pun telah menerima kenyataan ini semua. Ini masih biasa, banyak kesempatan lain yang bisa direngkuh. Bisa ? Ya bisa pasti bisa meskipun keadaan sekarang masih compang-camping dengan segala hal pengalaman. 

Muhasabahnya adalah untuk mengurus visa jangan pernah berharap bisa diburu-buru. Mau nyogok 100 juta ? Silahkan, Anda akan hanya ditertawakan dan kemungkinan terburuknya tidak bisa memasuki negara tersebut selama 10 tahun. Enak sebenarnya jika kita mematuhi SOP. Tapi kadang manusia seperti saya pinginnya deadliner padahal sebelumnya cuman santai-santai. Kemudian, organized well your team. Tujuan harus sama, jika tidak akan lama untuk mengeksekusi rencana. Dan yang terakhir dengarkan saran orang tua. Hati saya tersentuh dan sangat tersentuh ketika Ibu saya yang super judes mengingatkan ini itu, kemudian meng-sms "Sori yo le, ibuk nesu-nesu, aku ngerti kowe mesti bingung, ibuk yo raiso bantu opo-opo, ndonga yo le ! (Maafkan Nak, Ibu marah-marah kalo telpon, aku tahu kamu pasti sangat bingung di sana, aku gak bisa bantu-apa-apa, berdoalah Nak !)

Bagi saya hidup saya saat ini adalah ridho dari Orang tua dan Allah. Literally saya tak punya apa-apa. Basic pinter, basic rajin, basic bakat ? Sungguh saya tidak punya semua itu. Saya adalah penghuni ranking bawah ketika try out. Nilai matematika saya selalu mengerikan. Yaps, tapi saya dari SMP suka menjungkir balikkan opini itu. Berpegang teguh "Walal akhirotu khoirul lakaa minal uula" Akhir itu lebih penting dari pada awalnya dan berharap kepada Allah. 

Bagi saya nomer 1 itu doa baru usaha. Super banget nih kekuatan doa. Anda bisa belajar ketika mau ujian itu juga karena Allah meridhoi Anda belajar. Yang namanya gak diridhoi itu ya tinggal selangkah aja, Anda akan terjungkal. Pengalaman saya mengurus visa UK telah membuktikan. Sekarang, saya membuka lembaran baru kehidupan. Semoga akan happy ending sebagaimana surat Adh-Dhua itu. Bukan tentang keangkuhan, tapi ini adalah pembelajaran. 




Comments

Popular Posts